Kamu Yakin Budayawan? Inilah Syarat-syarat Seseorang Dapat Dipanggil Budayawan

Sumpah, saya merasa bodoh dan amatir (memang keadaan sebenarnya seperti itu) ketika harus mencari referensi mengenai syarat dan ketentuan yang diberlakukan kepada seseorang yang dilekat-panggili budayawan, atau mengaku budayawan. Bahkan google yang konon sudah di nisbatkan sebagai mesin pencari terpandai di dunia tidak menyediakan definisi yang saya cari. Kalaupun ada, mungkin pembahasannya hanya seputar tokoh yang digadang-gadang sebagai budayawan, bukan pada bahasan kenapa sampai seseorang disebut sebagai budayawan.

Memang secara eksplisit, untuk gelar “Budayawan” ini, hanya ada dan berlaku di Indonesia, dan ternyata gelar ini lama-kelamaan semakin mengungguli gelar sejarawan yang nota bene gelar yang satu ini sudah diakui hingga kancah nasional. Ada perasaan geli ketika membaca tulisan-tulisan para senior (yang umur dan ilmunya lebih tinggi dari saya). Mereka seolah terlalu mendramatisir ketika sedang menjlentrehkan arti budayawan, pun dengan penerapan model tulisan-tulisan ke-kiri-an, saya semakin yakin, jika sebutan budayawan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang “kurang waras”. Dalam arti, yang pada akhirnya mereka sangat senang ketika dipanggil BUDAYAWAN.

Coba baca tulisan Marco Kusumawijaya dalam blog pribadinya, ungkapan ini ditulis panjang untuk Diskusi Nasional “Arsitek Sasra – Matra”, dalam rangka purna-tugas Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc., 9 Juni 2009, di Semarang. Ingat, Man, Tahun 2009 ini sudah dibahas. Dalam tulisan nyentrik itu dia menulis:

“Tidak seorang pun dari semua orang yang sering disebut “budayawan” yang saya kenal merasa nyaman disebut “budayawan”. Sebab, secara leksikon artinya mesti dua saja: ahli (ke)budaya(an) dan pekerja (ke)budaya(an). Yang paling dapat disebut “ahli kebudayaan” adalah ahli antropologi, atau antropolog, budaya. Pekerja budaya? Sulit diidentifikasi siapa yang dapat disebut “pekerja budaya”. Apakah semua yang bekerja di bidang-bidang terkait kebudayaan? Tetapi, semua bidang terkait kebudayaa. Sedangkan pekerja seni mudah dibayangkan maksudnya, dan makin banyak digunakan untuk menunjuk bukan hanya para seniman tetapi juga semua pelaku dalam dunia kesenian: kurator, manajer galeri, produser teater, pengurus dewan kesenian, dan sebagainya. Begitu juga istilah aktivis seni kini makin sering digunakan untuk merujuk semua di atas, plus mereka yang suka menjadi sukarelawan mendukung kesenian.”

Jadi ungkapan itu ditulis untuk menunjukkan bahwa seorang Marco Kusumawijaya sangat waras dan peka dengan arti dan makna, Karena ia tahu bahwa secara leksikon, kata budayawan tidak dijlentrehkan dengan jelas lagi tidak dililit dengan berbagai syarat dan ketentuan. Masuk akal memang, tidak ada orang yang waras dan cerdas rela, jika dirinya di nisbatkan menjadi budayawan, sebab landasannya saja sudah berat. Apalagi kalau ada seorang Sarjana Hukum yang suka disebut sebagai budayawan dan mengaku-aku mempunyai keahlian dalam budaya, Sepertinya dia sedang terkena sindrom virus sianida.

Ada lagi tulisan populer dari seorang Windu W. Jusuf yang di-launching di web indoprogress.com. Tulisannya sangat membabi buta, ingin mengatakan jika sebutan budayawan itu sebenarnya tidak pantas untuk disematkan kepada siapapun kecuali pada orang-orang yang tulus dan malu disebut budayawan, tapi dengan cara yang sangat-sangat nyleneh. coba simak tulisannya ini


Sejak kapan ‘budayawan’ muncul? Entahlah. Barangkali istilahnya sendiri bermula dari kibul-kibul media Palmerah. Yang jelas, kendati lusinan orang telah mendapat predikat itu, nampaknya banyak juga yang enggan—paling tidak di bibir—mendapuk diri sebagai ‘budayawan.’ Ada sih yang mati-matian berusaha mendapatkan lisensi profesi tersebut, tapi kelihatannya tak seberapa banyak. Mungkin dengan cap ‘budayawan’ (ketimbang ‘politisi’) seseorang bisa lebih luwes masuk kubu A dan kubu B yang saling berseberangan—ingat, tahun depan 2014 lho. Dalam hal itu, sosok budayawan adalah seseorang yang supel, artikulatif, gelisah dengan kemanusiaan, dan perannya di masyarakat kurang lebih mirip minuman beralkohol, yakni sebagai ‘pelumas sosial.’

Boleh jadi, kasus ‘budayawan’ ini hampir mirip ‘intelektual.’ Di Indonesia, ukuran layak-tidaknya seseorang didapuk sebagai intelektual luar biasa terangnya: namanya pernah terpampang di halaman 3 Kompas. Pun yang lekat dengan predikat ini biasanya emoh disebut ‘intelektual.’ Mungkin karena rasanya terlalu elit dan ‘kurang turba.’ Mungkin juga lantaran intelektual di Indonesia tak dihargai sungguh-sungguh oleh masyakaratnya, plus dianggap ‘banyak omong tanpa memberikan solusi konkret,’ apalagi sejak—silakan meratap!—tren bahasa Vicky Prasetyo. ‘Intelektual’ dan ‘budayawan’ agaknya dipersatukan oleh lelucon komedian Groucho Marx: ‘Saya tak sudi masuk kIub mana pun yang bakal menerima saya sebagai anggota!’

Heem, sepertinya ini perlu segera didapuk menjadi sebuah gelar yang legal, supaya orang-orang yang kebetulan senang dijuluki budayawan merasa nyaman dengan gelar itu. Kalau begini caranya, saya semangat untuk mencari definisi dari portal terpercaya, supaya kalian bisa membandingkan siapa yang pantas disebut budayawan dan pantas membusungkan dada untuk dipanggil budayawan. Ini definisi langsung dari wikipedia

Budayawan adalah istilah umum yang merujuk kepada seseorang yang memiliki pengetahuan budaya, atau seseorang yang berkecimpung dalam bidang kebudayaan. Seorang Budayawan sering membagikan gagasannya, baik melalui interaksi sosial, baik dalam lingkup kecil sampai dengan lingkup nasional dan internasional. Ahli filsafat atau filsuf, ahli agama, sastrawan biasanya menyandang predikat budayawan. Di Indonesia, beberapa tokoh dianggap sebagai budayawan antara lain Abdurrahman Wahid, Frans Magnis Suseno, Emha Ainun Nadjib, Abdul Hadi WM, Nurcholis Madjid, W.S. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Umar Kayam, Nugroho Notosusanto, dan lain-lain.

Baca pada kalimat tebal di atas, seorang Ainun nadjib yang berpengetahuan seluas samudera pun masih DIANGGAP sebagai budayawan, bukan diakui, tapi dianggap. Dan tokoh tokoh di atas rasanya lebih baik daripada seseorang yang kerjaannya mandiin keris dan melototi facebook, tapi sudah sangat PD ketika dipanggil sebagai budayawan. Tokoh di atas lebih dikenal atas kegalauanya memikirkan bangsa daripada galau mengurus haknya ketika tidak diakui di dalam sebuah forum. Hai kamu itu waras apa tidak?

Masih menurut Windu W. Jusuf, Karena dia galau akan gelar budayawan yang sering diperuntukkan kepada orang-orang yang kebetulan ahli ngomong, padahal pengetahuannya mengenai bagaimana budaya itu terbentuk atas suatu peradaban masih abal-abal, dia mengajak kita untuk meninggalkan sejenak definisi dari BUDAYAWAN, maka dengan lantang ia membuat sendiri ciri-ciri dari budayawan yang diambil dari kebiasaan mereka, simak ya:

Budayawan tak boleh terlalu ke kiri atau terlalu ke kanan. Agak melipir ke kiri sedikit bolehlah, tapi camkan selalu sabda Nabi: ‘sebaik-baiknya pendapat adalah yang di tengah-tengah.’
Ucapan-ucapan Anda pada dasarnya adalah petuah, sehingga harus berpijak pada ‘moral’ dan ‘nurani,’ bukan ‘politik.’ Kebudayaan, menurut Anda, berpangkal pada moral. Meletakkan kebudayaan sebagai alat politik sama saja dengan melacurkannya.
Apabila Anda ingin menunjukkan keberpihakan, berpihaklah pada sesuatu yang samar, seperti ‘rakyat,’ ‘bangsa,’ ‘integritas,’ dan ‘kemajemukan.’ Yakinkan juga hadirin Anda bahwa keempat-empatnya sedang ‘berada di titik nadir.’ Sebaliknya, musuh Anda haruslah sesuatu yang super-abstrak, misalnya: ‘defisit etika’ dan ‘republik yang tak berpijak pada akal sehat.’
Apabila Anda sedang menulis esai, hindari uraian sistematis. Tulislah kalimat-kalimat bersayap seperti: ‘jangan lihat persoalan secara hitam-putih; kembalilah ke hati nurani kita’ (derajat kalimat ini sama dengan: ‘Anda pilih bir atau susu saat sarapan, itu tergantung situasi ranjang Anda semalam’), atau ‘bersama merawat kebebasan’ (kalau belum punya kebebasan apanya yang mau dirawat dong?).
Apabila ada penerbit yang berminat mempublikasikan kumpulan tulisan Anda (entah itu esai atau naskah drama yang entah kapan dipentaskan), ajukan judul-judul apokaliptik yang mengesankan negara dalam keadaaan ‘darurat moral’ seperti ‘Republik Maling,’ ‘Republik Makelar,’ atau ‘Republik Tikus.’

Mungkin saja, kamu yang sedang senang dan nyaman dipanggil budayawan itu terlebih dahulu mencari referensi yang melegalkan sebutan tersebut, minimal sebagai bahan perenungan bahwa menjadi seseorang dengan gelar budayawan itu repotnya lebih buruk dari pada repot memandikan gaman. Camkan itu!

Share your love

Update Artikel

Masukkan alamat email Anda di bawah ini untuk berlangganan artikel saya.

One comment

Tinggalkan Balasan