Jarang Membaca Bisa Sebabkan Kematian?

Jarang Membaca Bisa Sebabkan Kematian? Rasanya janggal ketika membaca judul di atas. Masa iya, sich! kematian disebabkan salah satunya membaca? Padahal sudah diterangkan dalam Al-Qur’an: jodoh, rezeki dan mati itu adalah urusan Allah. Ditambah lagi, surat pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi melalui perantara Malaikat Jibril adalah Al-Alaq ayat 1-5, yaitu tentang iqro (membaca!). Jadi tidak tepat menjadikan membaca menjadi kambing hitam meningkatnya angka kematian di Indonesia. Maka sangatlah timpang jika membicarakan kematian dengan budaya membaca masyarakat.

Eits, jangan kesusu (Terburu-buru. Red) dulu mengalihkan pandangan anda terhadap tulisan ini. Di samping ada pro-kontra terhadap judul tersebut, maka sudah waktunya untuk menanggalkan egoisme kita dan memulai dengan lapang dada, dan kembali kepada fitrahnya yang baik itu.
Kita sebagai umat manusia, umatnya Nabi Muhammad yang mendapatkan perintah membaca, maka sudah seharusnya kita memiliki kegemaran membaca (ummah qari’ah). Membaca dalam konteks ini saya persempit objeknya, karena dalam realitasnya, banyak orang yang tidak sadar akan pentingnya membaca bagi tatanan kehidupan bermasyarakat. Selain bermanfaat untuk meng-upgrade ilmu dan pengetahuan, membaca juga berguna menurunkan angka kematian di Indonesia.
Barangkali saya atau Anda, sering melihat dengan mata telanjang, menyalip-nyalip, mudah meliuk-liuk di gank-gank kecil. Bisa menembus kemacetan di jalan raya. Mampu menerobos rimba jalan raya. Sayangnya, kemudahan dan flexibelitas memakai kendaraan bermotor itu tidak diimbangi oleh pelaku pengendara itu sendiri. Bahwa perilaku pengendara yang ugal-ugalan, kebut-kebutan dan melanggar semua instruksi lalu lintas, berbahaya bagi nyawa si pengguna jalan maupun pengguna yang lain.
Rendahnya tradisi membaca juga berdampak ke sektor yang lebih luas. Yaitu, ke wilayah tataran trafic light. Kita tahu bersama, bahwa rambu-rambu bangjo (trafic light), atau apa itu sebutannya, sangatlah penting bagi keselamatan. Urgensi terhadap himbauan dari petugas lalu lintas, yang diwakili oleh reklame pada papan itu, ternyata hanya tinggal seruan belaka. Nyatanya, seruan tentang Dilarang Kecelakaan disini, Rumah sakit Jauh!, Ngebut Benjut itu tidak dibarengi dengan (belok kiri) ikuti isyarat rambu-rambu lalu lintas. Artinya, semua reklame atau pemberitahuan itu berlalu bersamaan kepulan asap knalpot. Sehingga pemberitahuan pun usang di terhempas asap knalpot, lapuk diterjang angin dan terbakar panasnya terik matahari.
Kita tidak bisa memandang sebuah kejadian dengan sebelah mata. Sebuah kejadian terjadi tentu ada hukum kausalitas. Maksudnya, ada sebab-akibat terjadinya kecelakaan dalam berlalu lintas itu tadi. Apabila tidak membaca petunjukkan rambu-rambu lalu lintas, maka mereka tidak memahami. Sehingga mereka pun melanggar. Mereka pun mengendarai dengan menerobos lampu warna merah, berhenti di zebra cross, hingga menerobos palang pintu perlintasan kereta api. Padahal imbahuan itu telah terpapang di pos-pos sendiri. Namun pemberitahuan itu tidak dibaca kemudian tidak pula diaplikasikan dalam perilaku berkendara.

Kita tidak bisa memandang sebuah kejadian dengan sebelah mata. Sebuah kejadian terjadi tentu ada hukum kausalitas.

Ketika musim mudik datang, banyak masyarakat Indonesia yang kembali ke kampung halaman. Mereka memanfaatkan alat transportasi yang ada. Mulai transportasi umum maupun pribadi. Namun, kondisi itu tidak diimbangi kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca petunjuk-petunjuk rambu-rambu lalu lintas. Dengan men-taati, mematuhi, menerapkan apa yang ada dalam imbauan papan reklame: belok kiri ikuti isyarat rambu-rambu lalu lintas. Belok kiri terus. Tengok kanan kiri ketika melintasi perlintasan kereta api. Berkendara tidak boleh lebih dari dua orang. Bahaya! mengendarai sepeda motor melawan arus. Berkendara sambil menelepon, menerima sms atau mengobrol saat mengendarai kendaraan. Sudah tidak rahasia lagi, masih banyak masyarakat yang acuh tak acuh dan terhadap simbol jalan itu. Perilaku yang demikian itu merepresentasikan tingkat kesabaran, kesadaran masyarakat Indosesia rendah. Rendah dalam budaya membaca—membaca petunjuk di papan reklame di jalan sekalipun.
Maka tidak berlebihan jika sastrawan Taufik Ismail mendakwa bangsanya sendiri dengan Tragedi Nol Buku. Nol tradisi membaca. Lebih jauh lagi, UNESCO, sebagai organisasi di bawah naungan PBB menilai presentase minat baca masyarakat Indonesia sebesar 0,0001 persen. Artinya, dari 10.000 orang hanya satu saja yang memilikiminat baca, (Boom Literasi: 2014).
Padahal, kita ketahui bersama, tidak sedikit masyarakat yang mengkritik, minimnya petunjuk dan penerangan di tol Cipali. Itu berarti, fasilitas seperti pembatas jalan, fasilitas petnujuk jalan dan penerangan jalan sangat penting bagi kelancaran berkendara. Maka sudah selayaknya kita membangun kesadaran terhadap budaya membaca, dengan mematuhi ataran yang berlaku. Bukan kemudian kita melanggarnya. Padahal melanggar ‘atribut’ imbauan atau papan reklame di jalan raya itu, bisa merugikan nyawa diri sendiri maupun pengguna jalan lain.
Maka tidak berlebihan jika rendahnya budaya membaca di masyarakat, yang berasal dari rendahnya kesadaran membaca dan mentaati rambu-rambu lalu lintas itu sendiri. Keengganan masyarakat memiliki budaya membaca itu mempengaruhi perilaku berkendara. Sehingga mengakibatkan kecelakaan-kecelakaan yang sepatutnya bisa diminimalkan, malah terjadi dengan kecerobohan pengendara sendiri.
Muhammad Choirur Rokhim, penggiat Literasi, berempati dan ‘keblinger’ di dunia go-blog.
Share your love

Update Artikel

Masukkan alamat email Anda di bawah ini untuk berlangganan artikel saya.

Tinggalkan Balasan